|
|
|||||||||||||||||||||
|
Mei 2004 | |||||||||||||||||||||
Nonton Show Di Dunia Lain |
||||||||||||||||||||||
|
Irsan membuat koleksi tanpa keharusan dan kewajiban. Hasilnya bagus.
Apa jadinya kalau Obi Wan Kenobi bertemu kekasih-kekasih The Great Gatsby, lalu bergabung bersama keluarga Don Vito Corleone dan para pesenam ? Mungkin cuma Irsan yang bisa mencampur ide besar itu dengan seru dan sukses. Futuristik dicampur retro. Elegan dipelintir bandel. Persilangan gaya ditampilkan inspiratif. Hasilnya sebuah percampuran mode yang radikal. Begitu kesan akhir yang saya catat dalam agenda kecil sehabis menonton “Peragaan Tunggal Irsan 2004” di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali. Catatan tentang peragaan Irsan itu sendiri saya mulai begini : Irsan mengundang saya lewat telepon untuk melihat koleksi barunya. Siang, akhir pekan 3 April 2004, saya pun berangkat ke Bali. Buat sementara saya tinggalkan Jakarta dengan rutinitasnya. Bebas dari kerjaan. Lepas dulu dari peragaan dan koleksi yang itu lagi–itu lagi. Beberapa hari sebelumnya saya sempat menonton peragaan busana penuh manik, kristal, sulam. Minggu sebelumnya seorang perancangs senior mempersembahkan koleksi kerlap-kerlip di atas bahan fragile. Kelihatannya mode sekarang ini sudah punya pakem. Modis dan bagusnya sebuah koleksi diukur dari berapa banyaknya manik yang dipakai, berapa meter chiffon yang digunting serta ada atau tidaknya rancangan bustier. Padahal maaf-maaf saja. Mata saya sebenarnya sudah pegel. Rasa juga hampir imun melihat mode Indonesia yang lagi-lagi memakai idom sama : manik, payet, sulam dan bustier. Jadi ketika malamnya saya melihat panggung dan kursi yang ditutup kain putih di ballroom hotel tempat peragaan, alergi mulai kambuh. Tiba-tiba muncul rasa Jakarta di Bali. Suasananya kembali seperti gaya panggung peragaan besar di Jakarta yang sudah puluhan kali saya lihat. Please, jangan pertontonkan lagi glamornya manik, saya berharap dalam hati. Det-dot ! Ternyata dugaan saya meleset 180 derajat. Model-model Irsan meluncur dengan muka ditutupi kain putih dengan baju senam putih lengan panjang dan legging putih. Sepintas berkesan robot “3PO”-nya Star Wars. Sekilas seperti melihat boneka manekin. Awal yang menarik ! Peragaan dibuka dengan setelan maskulin yang di-diskonstruksi. Adrenalin semakin naik pada waktu koleksi masuk pada rancangan dengan inspirasi baju flapper era 30an, yang lagi in di mana-mana. Irsan menatanya tidak terduga. Gaun cantik itu dia campur dengan sepatu sol tebal platform. Sebuah pelesetan mode yang bandel dan alternatif. Belum sampai bosan dengan gaun jersey melambai itu, sudah muncul ide lain : rancangan rajut. Jangan pikir Irsan membuat baju hangat atau kardigan yang konvensional. Bahan yang lama tidak kedengaran dalam dunia mode itu, dia garap jadi gaun lebar ala New Look. Surpirse… surprise…. Tapi rancangan favorit malam itu adalah gaun jersey hitam. Irsan menggabungnya dengan jaket kulit yang dilubangi seperti menggunakan perforator untuk membentuk motif geometris. Sebuah paduan kontras yang tinggi antara karakter maskulin dan jiwa lembut. Lewat peragaan itu saya menilai Irsan itu sangat percaya diri. Dia membuat koleksi yang berbeda dari yang selama ini banyak saya lihat di Jakarta. Saya seperti masuk dunia lain di mana kebebasan, radikalisme bisa dikemas menjadi sesuatu yang inspiratif. Bahwa untuk masuk dalam arus besar mode yang sedang menjadi tren, seorang perancang bisa saja melewati jalur eksplorasi konstruksi baju, cutting dan styling. Bukan dengan manik dan payet. Saya percaya, sebuah karya yang keluar dari seseorang pencipta, siapa pun dia, adalah hasil dari apa yang dia lihat, cerna dan serap dari sekitarnya. Tahun 1991, dari Medan, umur masih 16 tahun, Irsan ke Jakarta belajar di sekolah mode Susan Budihardjo. Dia sempat jadi stylist perancang Didi Budiardjo dan Adjie Notonegoro. Terus pindah ke Bali untuk tinggal dan buka usaha. Di daerah Kuta, sejak sepuluh tahun lalu Irsan masuk dalam sebuah “negeri” tempat membaurnya budaya dan gaya hidup. Saya bisa ikut merasakan atmosfer itu ketika suatu kali, misalnya, melihat seorang wanita dengan blus halter dan berkacamata Jackie O yang sangat canggih menikmati sore di Ku De Ta, sebuah resto post mo di tepi pantai daerah Kerobokan. Tapi begitu keluar dari tempat itu, saya berpapasan dengan serombongan pria berpakaian tradisional membawa gamelan sehabis menjalankan upacara adat di pura. Bali juga bukan sebuah tempat untuk jaim. Di sini ekspresi orang tidak pernah tertunda. Di jam lain saya lihat di pintu masuk Liquid, sebuah klub modern di jalan Dianapura, seorang perempuan memamerkan cleavage-nya di balik belahan gaun hitam yang chic. Sementara di sebelahnya seorang pria berbadan besar cuek saja memakai kain sarung, berdiri di atas lantai granit dekat sebuah kursi bulu. Sebuah pemandangan yang sangat kontras. Ungkapan jiwa, hati dan pikiran seseorang terekspresi sesuai tempatnya berada. “Saya nyaman di Bali. Saya tidak harus dress up, sekalipun ketika meeting dengan klien,” kata Irsan. Saya juga mengerti kenapa Irsan membuat koleksi dengan gaya yang di mata para penganut paham elegan Jakarta dianggap “nekat”. Karyanya lepas, cuek, rileks. Sederhana jawabannya. Seperti para pemberontak lainya, dia tidak mau ikutan. Aturan bukan gayanya. “Dalam berkarya, tidak ada kewajiban, tidak ada keharusan saya musti membuat ini atau membuat yang seperti itu. Jujur saja, tadinya saya sudah buat 10 rancangan korset, tapi tidak jadi saya keluarkan karena saya tidak mau ada keharusan untuk mengikuti selera banyak orang” ungkapnya sehabis peragaan. Contoh banyak membuktikan, para non conformist pada akhirnya membuat dunia terus maju dan berubah. Memang, beberapa idenya sudah keduluan perancang lain. Caranya menutup muka dan tubuh model dengan kain dan baju senam putih sudah diperkenalkan perancang Jean Paul Gaultier dalam peragaan couture 2003 lalu. Siluet rok lebar dengan ikat pinggang kulit lebar berulang kali saya lihat dalam koleksi Alexander McQueen. Tapi saya tidak mencatat itu sebagai bencana bagi koleksinya. Buat saya Irsan sudah memperlihatkan bahwa dia mampu mengeksekusi konsep besar dengan benar. Dia juga jago meramu. Silang gayanya punya ciri sendiri. Radikal, nakal, sensual. Tidak bisa dibohongi, semua itu keluar dari jiwanya. Dia sangat menyadari itu. Dalam penutup siaran persnya Irsan menuliskan rasa percaya dirinya itu. Saya kutip di sini : Irsan will always be an Irsan. (Di Garuda 415, jurusan CKG, kursi 21G, Minggu, 4 April 2004) (MB) |