|
|
|||||||||||||||||||||
|
April 2004 | |||||||||||||||||||||
Opera Cina Made In Oscar |
||||||||||||||||||||||
|
Bernardo Bertolucci bikin
The Last Emperor. Chen Kaige menggarap Farewell to My Concubine.
Di tangan Oscar Lawalata jadinya The Last Concubine. Dying Gracefully. Babak 1 : Sang Perancang Ketika mendengar Oscar Lawalata akan menggelar show, saya antusias. Oscar perancang generasi muda. Karyanya punya karakter. Unik, bervolume, asimetris. Dia juara 2 dalam Asean Young Designers Contest di Singapura tahun 1999. Koran Kompas pernah menyebutnya sebagai perancang muda paling berbakat. Pembaca majalah Dewi sempat memilihnya sebagai perancang favorit. Dia juga punya aset banyak teman. Itu modal bagus buat marketing. PR-ing nya dibantu ketenaran ibunya, Reggy Lawalata, dan adiknya, Mario. Tanpa semua kelebihannya itu, mana mau PT Ribens Autocars, dealer resmi Mercedes-Benz, mau jadi sponsor utama peragaannya. Maka jadilah peragaannya yang berjudul : The Last Concubine. Dying Gracefully. Oscar mengaku, dalam acara konferensi pers, dia terpengaruh film The Last Emperor dan Farewell to My Concubine. Tapi kedua film itu sebenarnya bukan sumber inspirasi paling utama. Dia terkagum-kagum pada Cina itu sendiri yang dinilainya memberi pengaruh pada dunia. “Cina menonjol dalam filosof hidup, budaya dan pengaruhnya pada dunia. Saya kombinasikan ketiga unsur itu untuk diwujudkan dalam busana,” kata Oscar. “Konsepnya adalah elementasi budaya Cina dalam wujud sangat kontemporer.” Babak 2 : The Dragon Lady Balai Sarbini, Jakarta, pada tanggal bagus : 12.3.’4. Kebetulan hari itu Jakarta diguyur hujan sejak sore. Tapi buat orang Cina hujan katanya dipercaya sebagai berkah. Mungkin ada betulnya juga. Oscar mendapat berkah tamu. Lebih dari 800 undangannya rela datang dengan tetap bersemangat di malam penuh hujan. Malah segerombol tamu perempuan, di antaranya mantan model kelas dua di era 1990an, begitu bersemangat sampai seenaknya menduduki kursi VIP yang jelas-jelas ditempel sticker bernama sejumlah fashion editor majalah ternama Jakarta. Ini membuat para redaktur mode yang seharusnya duduk di deretan strategis, tersingkir di kursi biasa. Saya jadi percaya seseorang dengan gaun cantik dan mahal bukan otomatis adalah seseorang yang punya etika. Makanya saya selalu tidak silau pada bungkus dari isinya. Sudah sejak di voyer gedung peragaan para undangan digiring dalam suasana Cina dengan dekorasi kain merah dan anggrek bulan. Ada seorang perempuan bercheongsam duduk memainkan kecapi Cina di tengah ruangan tempat tamu seen and to be seen itu. Rata-rata tamu patuh dengan dress code : Black China Black. Shanty menerjemahkannya dalam gaun hitam dan topi fedora. Becky Tumewu dengan mantel satin panjang berkerah bulu. Lalu muncul koreografer Ari Tulang memakai jas panjang berkancing kait dan topi fedora. Gayanya persis mafia dalam film-film HongKong. So stylish. Oscar rupanya tidak cukup puas dengan mendesain baju. Dia juga seorang story teller. Koleksinya dipresentasi dengan gaya teatrikal dan bercerita. Kisahnya tentang The Dragon Lady di Kekaisaran Terakhir. Di atas panggung bundar dibuatlah setting balairung istana dengan puluhan lampion di latar belakang. Di tengah panggung si lady berbaring di singgasana yang ditutupi kelambu. Peragaan dikemas dalam sebuah pertunjukan yang seolah menggambarkan si lady sedang menonton sebuah persembahan hiburan baginya. Ada tari lampion, seni bela diri wushu dan tari pita yang menyelip di tengah koleksi Oscar. Lalu muncul Titi DJ, bergaun merah, dengan lagu andalan “Sang Dewi” yang dinyanyikan dalam bahasa Mandarin. Akhirnya si lady bangkit dari pembaringannya dan ternyata adalah penyanyi sopran Aning Katamsi dengan dandanan ala Joan Chen dalam The Last Emperor. Haiya … Babak 3 : Déjà vu Lalu bagaimana dengan cerita koleksi baju Oscar, yang jadi isi dan jiwa peragaan itu sendiri dan merupakan karya couture ? Oscar menampilkan 60 set busana. Kedengarannya banyak, tapi terlihat sedikit karena styling dan siluet kurang ragam. Hampir semuanya gaun. Hampir semuanya model bustier dengan jahitan tindas dan bagian bawahnya melebar bertumpuk. Gaya itu katanya membantu membentuk anatomi pemakainya. Bagian atasnya gaun selalu dipercantik bordir yang merupakan satu-satunya unsur adaptasi Cina paling kuat dalam karyanya. Tapi saya tidak melihat satu pun ada bordir di bagian bawah atau bagian lain sebagai variasi desain. Dan semuanya terbuat dari bahan tulle ! Makanya, ketika model Izabel Jahja kembali muncul membawakan baju kedua, lagi-lagi dengan gaya bustier dan tulle lebar di bagian bawah, saya langsung merasakan déjà vu. Sepertinya gaun itu sudah saya lihat di babak sebelumnya saking miripnya. Bahkan cara pakai kalungnya pun sama. Ditumpuk bersusun. Penuh dari leher sampai dada. Saya jadi teringat dengan para couturier sejati di pusat-pusat mode dunia. Karena couture punya filosofi eksklusif, antara satu baju dan baju lain tidak pernah dibuat sama, baik desain, bahan sampai pelengkap busananya. Baju pertama bisa saja terbuat dari lace dengan model gaun. Baju kedua boleh jadi sifon dengan model blus dan celana. Justru dengan semakin variatif dalam mengolah bahan, styling dan siluet, seorang perancang couture membuktikan kemampuan dan kalibernya. Dulu di tahun 1960an dan 1970an memang pernah populer cara membuat sebuah koleksi dengan gaya pecah pola. Misalnya baju pertama tanpa lengan, baju kedua berlengan pendek dan baju ketiga dirancang lengan panjang dan seterusnya. Sekarang, di saat mode berubah dengan cepat, dalam satu koleksi bisa terdapat beragam siluet dan styling. Itu sah-sah saja. Yang penting jiwa, rasa dan pesan koleksi itu sampai pada penikmatnya. Saya kagum dengan para couturier sejati karena mereka tahu bahwa sesuatu yang seragam punya nilai negatif, yaitu membosankan dan memberi kesan tidak kreatif. Tapi Oscar yang sudah sejak 2001 menggarap hanya tulle, memang beda. Dia selalu ingin berkarya dengan cara lain, meski kadang mengalahkan logika. “Saya memfokuskan pada tulle untuk memberi ciri karya couture saya. Saya senang tulle karena bahannya sudah berevolusi semakin nyaman, ringan. Malah sekarang sudah stretch, jadi bisa membentuk tubuh, sudah beda dari bentuk awalnya yang kaku sebagai bahan ganjalan rok ballgown,” katanya lagi. Oke, oke. Tidak apa-apa. Perancang muda ini punya konsep sendiri untuk menyampaikan pesannya. Jadi biarkan saja Oscar terus berkembang dan bereksperimen.Malah tamu lain mungkin tidak ada yang terlalu peduli dengan koleksi yang anti klimaks karena seragam itu. Mereka sudah terlanjur terkesan dengan presentasi peragaan yang spektakuler tadi. Buktinya penonton kelihatan senang. Wajah mereka tersenyum lebar ketimbang bersungut kesal sambil membuat janji sana-sini untuk sama-sama menuju Blowfish, tempat Oscar mengadakan after show party. “Good. Good,” kata seorang perancang sambil ke luar dari ruang peragaan. “Bagus ya presentasinya. Yang mau dicapai sampai,” kata seorang redaktur mode majalah wanita. Sudah pasti paling puas dan bahagia adalah Mama Reggy. “Oke ya ? Saya bangga. Kok dia bisa terpikir untuk menggabung fashion dengan tari dan wushu segala,” katanya. Saya mengangguk setuju. Soal penyajian, Oscar memang berhasil membungkus koleksi gaun-gaun tulle berbordirnya itu dengan presentasi bintang tiga. Tapi soal koleksi saya menggeleng kepala. Karena sebenarnya saya orang yang lebih memilih isi dari bungkusnya. (MB) |