No.17, 31 Agustus 2003
 

Jas, Riwayatmu Dulu

 
 
 
 
 
Jas, Riwayatmu ...
Story Book Of ...
 
HOME
 

Anne Hollander, penulis buku Sex and Suits,  mengatakan bahwa kombinasi jas dan celana panjang yang membalut tubuh pria benar-benar  kelihatan “sempurna” dan  jas bisa bertahan lama  karena punya daya tarik erotik yang kuat. Di matanya, setelan jas itu sexy. Ia membandingkan jas punya nilai yang sama dengan Concorde dan Ferrari.

Itu pandangan lawan jenis saat melihat jas melekat di tubuh pria. Tapi secara sosial jas pun punya peran sendiri, bukan sekedar benda berbentuk dan berfungsi. Jas penah menjadi cap status sosial ketika awalnya diciptakan di akhir abad 17, tapi pada dua abad berikutnya berubah  menjadi lebih aspiratif ketika orang mulai berpakaian dengan maksud untuk memperlihatkan jati dirinya. 

Sepanjang sejarahnya jas berkonotasi dengan perkembangan sosial dan berasimilasi dengan kebudayaan Eropa sebelum merembas ke belahan dunia mana saja sekarang ini.  Dengan perjalanan yang tidak singkat jas pada akhirnya mengalami keterbatasan dan penyempitan peran. Ia kini sangat terkait dengan dunia kaum pekerja dan tidak lagi dipakai sepanjang hari.

Dari sisi mode, setelan jas merupakan senjata paling ampuh bagi pria untuk menyatakan jati dirinya sampai  kemudian diadopsi kaum wanita di abad 20.

Awal

Oktober 1666 di istana Raja Charles II di Inggris. 

“Hari ini raja untuk pertama kalinya memakai rompi dengan mantel di atasnya dan celana panjang lebar. Mantelnya panjang sampai lutut,”  tulis catatan sejarah yang dimuat John de Greefe dalam buku Costumes et Vestons terbitan Booking International, Paris, tahun 1989. 

Pengikut setia raja langsung mengadopsi baju baru sang baginda. Model pakaian itu pun menyebar di kalangan biasa. Siapa sangka gaya pakaian itu akhirnya menjadi cikal bakal setelan jas yang perjalanannya mencapai tiga abad !

Sebenarnya pada mulanya raja Inggris dan para penjahitrnya mendapat inspirasi untuk membuat jas selutut itu dari pakaian tradisional Turki dan Persia,  berupa mantel panjang yang bentuknya semacam jubah panjang. Sebelum menjadi berita penting di istana, mantel itu lebih dulu dipakai dalam lingkungan militer. Mantel Turki itu juga sudah dipakai para artis dan seniman yang kemudian membawanya masuk ke salon istana.

Abad 18

Sejarah mencatat, setelan jas berkembang pesat justru karena hubungan buruk antara Inggris dan Prancis yang berlangsung pada abad 18. Pada saat itu  perseteruan kedua negara itu bukan saja terjadi dalam isu-isu politik, tapi juga intrik pengaruh mempengaruhi dalam soal busana.

Mantel Turki yang sudah direkayasa berbentuk jas sepanjang lutut itu kemudian dipotong pendek menjadi semacam jaket sepinggang yang disebut waistcoat.  Para penjahit istana memperkaya pakaian itu dengan hiasan dekoratif  berupa sulaman dari benang emas dan perak. Bahkan celana pun diperlakukan sama dekoratifnya. Tidak jarang setelan jas itu dijahit di atas bahan mewah, seperti beluduru. Ini membuat reputasi busana Inggris itu semakin berkilau.

Berita penemuan baru itu sampai juga di negeri musuh. Saat itu Prancis diperintah oleh Raja Louis XIV,  yang terkenal dengan ucapannya,  “L’etat cest moi” atau “Negara adalah saya”. Jelas saja raja yang sohor sebagai pecinta penampilan itu panas hati mendengar kejayaan jas Inggris tadi.

Sang raja pasang taktik untuk merendahkan nilai jas itu sambil mengejek raja Inggris dan para penjahit istananya. Jas pendek yang di Inggris dipakai oleh kalangan istana, justru ia wajibkan untuk dipakai sebagai seragam tentara infantri Prancis. Tidak kurang para pelayan diharuskan pula memakai jas pendek itu. 

Tapi tindakan itu malah berbalik arah menimpa diri Louis XIV. Ia kena batunya karena jas pendek itu ternyata malah populer di Prancis.  Raja Prancis itu pun  ikut memakainya  selama separuh terakir masa pemerintahannya. Pakaian yang awalnya mau dideskriditkan itu akhirnya diminati di seluruh daratan Eropa.

Lebih lucunya lagi, Prancis menyempurnakan jas itu dengan dekorasi sulaman yang lebih kaya dan gemerlap sampai kemudian mengklaim jas pendek itu sebagai hasil temuannya.

Memang benar, Prancis telah membuat jas itu menjadi lebih pantas dan mewah.

Raja XIV dikenal senang upacara dan hidup foya-foya. Biografinya mengatakan, “Ia senang kemewahan..”  Istana Versailles di luar kota Paris dibangunnya  dengan gaya  barok yang penuh unsur keemasan yang menakjubkan.

Pakaian menjadi penting dalam segala upacara di istana dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan para pelayan dititahkan untuk mengikuti  setiap seremoni  raja saat bangun tidur dan menjelang naik ke tempat pembaringan. Siapa saja yang ikut dalam prosesi tidur sang raja itu diwajibkan untuk memakai pakaian yang diatur oleh protokoler istana !

Tapi kalangan istana merasa terhormat bila terpilih dalam kegiatan itu dan tidak peduli terjebak dalam  korban permainan mereka sendiri. Para bangsawan diwajibkan tunduk pada aturan istana.  Raja pun melindungi industri tekstil saat itu demi berlangsungnya kemewahan berpakaian

“Mode itu cermin sejarah,” kata sang raja yang juga dijuluki  “Si Raja Matahari” itu.

Inggris pada awalnya sempat terseret dengan kemewahan dan mode yang diciptakan di istana Prancis. Tapi kemudian negeri ini berjalan dengan gayanya sendiri yang sangat berbeda dan memiliki kekhasan yang bisa memberi pengaruh.

Sekitar tahun 1730, seorang pria Prancis bernama Cesar de Saussure mengunjungi Inggris dan membuat catatan khusus, seperti dikutip dari tulisan Farid Chenoune dalam buku A History of Men Fashion terbitan Flamarion, 1993.

Begini tulis catatan itu :

“Mereka berpakaian sederhana. Mereka jarang terlihat memakai kepang rambut. Mereka memakai jaket pendek yang disebuat frockcoat, tanpa hiasan sulaman dan memakai kerah di bagian atasnya. Mereka semuanya memakai rambut palsu bergulung-gulung, topi polos tanpa bulu  dan tangannya memegang tongkat, bukan pedang, tapi bahan dan baju putihnya sangat bagus dan paling modis. Gaya seperti itu dipakai pedagang kaya, pria gentlemen kaya dan tuan tanah, yang melangkah di jalan becek, terutama pagi hari.”

“Orang akan terpesona melihat pakaian mereka yang yang begitu polos. Terutama bila melihatnya bukan saja dipakai para pedagang yang berbisnis di kota, tapi juga oleh para bangsawan. Saat itu ada anjuran : Berhati-hatilah kalau jalan di jalanan London. Berpakaianlah dengan layak. Hati-hati kalau memakai busana dengan penuh hiasan, bulu  di topi dan pita di kuncir rambut, bisa-bisa Anda dijuluki “French dog””.

“Meski pria-pria Inggris itu berpenampilan sederhana, mereka sangat santun dalam soal etika. Bangsawan dan kalangan atas lainnya menghormati etika yang membedakan pakaian kasual pagi hari dengan pakaian resmi untuk jalan-jalan, menonton teater dan ke istana, terutama dalam acara kenegaraan di mana mereka berpakaian begitu apiknya dengan busana yang paling menawan.”

Di awal 1740 , beberapa bangsawan dan pedagang kaya di Prancis mulai mengadopsi pakaian dan tradisi Inggris itu, meninggalkan mode Paris yang saat itu sedang digemari di Eropa. Gaya berpakaian Inggris yang sederhana itu mulai berpengaruh pada banyak kalangan sampai akhirnya dikenal luas di Prancis.

Anglomania muncul sebagai istilah baru untuk menyebut tren mode yang berasal dari Inggris saat itu.

Kesederhanan gaya Inggris itu tumbuh karena gaya hidup para bangsawannya. Tuan tanah Inggris tinggal di tanah mereka yang jauh dari istana. Sementara bangsawan Prancis tinggal di istana, jauh dari tanah mereka. Itu sebabnya bangsawan Inggris di kemudian hari meminjam pakaian yang mereka adaptasi dari kelas bawah untuk kesempatan di luar istana. Pakaian “jalanan” itulah yang diadaptasi menjadi bentuk sederhana tadi.

Setelan jas perlahan-lahan berganti rupa  di paruh kedua abad 18 dengan munculnya gaya pakaian baru yang lagi-lagi berasal dari Inggris.

Di masa itu gaya hidup berburu ke pedesaan semakin meningkat di kalangan bangsawan. Untuk keperluan itu mereka menciptakan jas yang khusus dipakai untuk menunggang kuda hingga disebut dengan riding coat yang di Prancis kemudian dikenal sebagai sebutan redingote.

Jas berkuda ini memakai kerah berdiri, memakai kancing sampai pinggang dan dibuat dari bahan polos. Bentuknya panjang dengan sambungan di bagian pinggang. Dengan bentuk sederhana, tanpa hiasan, polos, riding coat ini menjadi cikal bakal bentuk jas yang kita kenal sekarang. 

Prancis mengadopsi jas berkuda itu. Riding coat dan variasinya menjadi gaya pakaian  banyak orang, mulai juragan sampai pelayan. Tahun 1769 jas berkuda itu sangat umum di pakai di jalan-jalan Paris. Para pria memakai semacam jas panjang dengan lubang kancing sampai pinggang dan terbuat dari bahan kasar. Menjelang Revolusi Prancis, redingote mendapat kehormatan dipakai bangsawan di istana, pedagang kaya, saudagar bahkan pelayan.

Padahal kalangan istana sedang menyukai mode  gemerlap,  meriah, flamboyan. Gaya pakaian aristokrat saat itu ibarat letupan warna, kemewahan satin dan sutra. Ditambah kemeriahan bahan bergaris, bercorak bunga dengan warna keemasan ditambah lagi jambon, merah anggur,   biru dan kuning. Sangat kontras dengan gaya sederhana Inggris.

Anglomania terus berlanjut. Kesederhanaan mode Inggris akhirnya mengubah gaya mewah Prancis dan seluruh Eropa. Termasuk dalam selera warna.  Setelan jas warna hitam dan gelap yang dipelopori kaum pria Inggris lama kelamaan dapat diterima banyak kalangan dan situasi.

Surat komponis ternama Mozart tahun 1778 kepada  ayahnya menceritakan  kecenderungan mode itu.

“Kita bisa pergi ke mana saja dengan baju hitam”, katanya.  “Jas hitam praktis  karena merupakan baju ke luar kota, tapi sekaligus baju yang gaya.”

Selain unsur sederhana, angin kebebasan yang ditiup Revolusi Prancis ikut berperan dalam metamorfosa setelan jas. Begitu kelas atas mulai mengimitasi kesedehanaan gaya pakaian Inggris, terbentuklah dua gaya berpakaian yang sangat berbeda. Istilah full dress ditujukan pada gaya pakaian yang dikenakan di istana. Semenara gaya yang kurang formal dan dipakai banyak orang di kota disebut undress.

Makin lama perbedaannya semakin mengkristal. Yang fulldress bergaya Prancis dengan kerah jas berdiri. Pakaian istana ini terbuat dari bahan sutra dan beludru  yang diberi hiasan sulam dan terdiri dari jas lebar dengan celana selutut dan stocking sutra serta sepatu bergesper dengan hak bermerah.

Yang undress memakai jas berkerah rebah gaya Inggris. Cocok unuk ke luar kota, bepergian dan terutama untuk di pakai di kota.

Itulah perang antara kaum bangsawan dan puritan.Sastrawan Prancis Honore tahun 1789 menggambarkannnya sebagai perang antara “sutra dan bahan kasar”. Di abad 18 itu juga keluarga berpengaruh di Prancis mulai memakaikan anak laki-laki mereka dengan celana pelaut. Celana itu berpingang tinggi sampai di bawah dada dan dikancingkan pada jaket pendek hingga menjadi satu setelan. Celana pelaut dan celana pekerja akhirnya tidak kenal batas usia dan kelas.

Pada 14 juli 1789, yang kemudian menjadi hari kemerdekaan Prancis itu,  para pekerja dan penganggur melepas jas dan dasi, hanya memakai rompi dan celana panjang. Pahlawan revolusi memilih celana lurus sempit atau pantalon, menanggalkan celana selutut yang menjadi simbol istana.

Pada saat yang sama di Inggris baju kasual elegan pagi hari mulai memakai celana yang panjangnya sampai mata kaki. Seorang pria pesolek Inggris, George Bryan Brummel, yang gaya pakaiannnya sering menjadi panutan,  suatu malam di tahun 1810 datang ke istana dengan memakai celana hitam ketat yang dikancing di bagian bawah sepatu. Mulanya celana panjang itu ditolak masuk istana. Ketika akhirnya diijinkan,  celana panjang memulai perkembangannya sebagai bagian utama dari setelan jas pria.

Abad 19

Di awal abad 19, Napoleon Bonaparte menata kembali pakaian istana dengan memakai frock coat berwarna abu-abu yang terkenal menjadi cirinya. Jas pria kemudian berbentuk lebih sederhana dan gelap. Pengaruh jas Inggris telah membuat kaum pria di Eropa berpakaian dengan gaya yang lebih ringkas, nyaman dan gelap. Kemewahan dan kegenitan yang merupakan ekspresi diri di jaman sebelumnya diserahkan menjadi milik kaum wanita saja.              

Pertengahan abad 19 kancing jas mulai naik ke atas. Rompi mulai menghilang dari setelan jas pria. Warna abu-abu, biru tua dan hitam menjadi warna baru di masa itu, meski masih ada yang pakai warna cerah pengaruh abad sebelumnya. Hitam menjadi warna serius untuk setelan jas ke gereja dan di hari minggu

Pada pertengahan abad 19 muncul setelan jas lengkap yang tebuat dari bahan sama untuk jas dan celananya. Setelan jas ini disebut sebagai setelan jas klasik dan menjadi ciptaan perintis untuk pakaian modern pria, yaitu setelan jas bisnis.

Bermula dari Raja Edward VII yang pada tahun 1867 tampil memakai jas yang  sama bahannya dengan celana panjangnya. Sejak itu  kaum pria berpakaian dengan hanya satu warna gelap dari ujung kepala sampai ujung kaki, kata Dictionaire de la Mode au Xxieme Siecle, arahan Bruno Remaury, terbitan Edition du Regard, tahun 1994.

Juga di abad 19 ini mulai dibedakan jas dengan kancing satu baris dari atas ke bawah (single breasted) dan jas berkancing ganda kiri kanan (double breasted).

Keseriusan setelan jas abad 19 dengan warna gelapnya dipecahkan oleh munculnya gaya hidup sport. Kehidupan kaum bangsawan mulai mendapat tekanan dari kelompok kaya baru yang menguasai perekonomi, industri dan dagang. Kaum kaya baru ini mulai naik dalam dan mencari gaya hidup baru. Salah satunya berburu. Sport eksklusif ini dianggap mempunyai gengsi tersendiri.

Dibuatlah jas dari bahan tweed untuk keperluan itu. Potongannya lebih lebih sportif. Bagian belakangnya memakai  lipatan hingga bentuknya lebih longgar. Jas itu kemudian dikenal dengan sebutan jas Norfolk.

Edward VII, yang dijuluki Prince of Wales, memberi kebebasan baru pada mode pria. Ia memperkenalkan baju-baju yanglebih sportif dengan memakai banyak saku dan  dan memakai ikat pinggang. Ia juga mengadaptasi gaya celana golf Amerika menjadi celana  knikesrbokers yang berpotongan selutut dan menggembung di bagian bawahnya. Celana ini kemudian menjadi pasangan jaket Norfolk dan paling favorit sebagai setelan jas untuk berburu di pedesaan.

Semasa pemerintahannya, Edward VII banyak melahirkan tata cara baru berpakaian. Ketika seorang utusan dari Amerika datang dengan pakaian biasa, ia pun mengimitasi gaya santai Amerika lewat pemakaian dasi warna-warni pada setelan jasnya.

Suatu kali kancing jasnya  yang paling bawah terbuka karena perutnya kelewat  gemuk. Ketika tampil di muka umum, pangeran itu membiarkan kancing tadi tetap terbuka, yang kemudian menjadi etika sampai sekarang.

Tapi etika itu sering dilupakan, sejalan dengan perubahan jas. Sering kita lihat politisi berdebat dengan kancing jas terbuka seluruhnya, memperlihatkan kemeja putihnya dan juga perutnya yang tambun. Dalam kasus ini rompi sebenarnya diperlukan, tapi perkermbangan jaman tidak membuatnya populer. 

Santun berpakian dengan membuka kancing jas pada saat memperkenalkan seseorang, sudah tidak dikenal lagi oleh kaum muda sekarang. Begitu juga menutup kancing jas rapat-rapat saat mengajak dansa wanita di abad lalu, sekarang malah diganti dengan kebiasaan membuka jas sama sekali saat berada di klub atau diskotik.

Abad 20

Selama Perang Dunia I, redingote secara progresif mulai ditinggalkan. Muncul jas yang akhirnya kita kenal sekarang, baik berkancing satu baris atau ganda.

Di tahun 1920an, gaya hidup berlibur ke daerah pantai mulai disukai banyak orang. Lahirlah blaser atau jas ringan berwarna biru tua dengan kancing emas dan celana panjang warna putih atau gading. Blaser ini diciptakan untuk menemani kaum pria berlayar di atas kapal atau minum teh di daerah pantai pagi hari.

Di awal abad 20 ini juga muncul seorang pria dari kalangan istana Inggris yang sangat peduli pada penampilan dan memberi pengaruh pada gaya pakaian pria. Dia adalah Edward, yang diberi gelar Duc of Windsor, cucu dari Edward VII atau Prince of Wales.

Suatu kali Edward kena marah ayahnya ketika ia datang pada jamuan minum teh sore hari dengan setelan jas berburu seperti dipakai kakeknya dulu. Pada waktu ia membuka kancing jas paling bawah, meneruskan kebiasaan kakeknya, gaya itu diikuti kalangan istana.

Pengaruh besarnya adalah memakai jas dengan topi di depan umum. Edward menjadi berita utama di koran setempat ketika memakai scarf di balik kerah bajunya dan mengenakan kemeja polos atau bergaris dalam warna-warni cerah.

Lipatan di pinggang celana, lipatan bagian bawah celana merupakan sumbangan lainnya pada mode pria. Tapi kontribusinya yang paling dikenal adalah caranya mengikat dasi hingga kini dikenal istilah mengikat dasi dengan gaya “Windsor” dan “half Windsor”, yang berasal dari namanya.

Bersama para pesolek internasional lainnya, terutama dari Amerika,  Edward  membawa pengaruh gaya pakaian kota yang benar-benar apik, yaitu setelan jas bergaris tipis atau bermotif kotak-kotak (glen check) dengan model kancing ganda. Jas berkancing ganda ini menjadi sangat modis di tahun 1930an.

Gaya hidup sport masa itu membuat bentuk tubuh pria mulai berubah atletis. Jas dengan bahu turun model botol dianggap lucu dan kuno. Pria perlu busana yang lebih sesuai dengan bentuk tubuhnya yang lebih modern, yaitu jas dengan potongan geometris.

Seorang penjahit jas ternama Prancis, Paul Lidvall, pada tahun 1931  memperkenalkan setelan jas dengan garis bahu  persegi  yang diisi ganjalan bahu (padding) dan celana panjang lurus.

Bentuk jas dengan potongan besar di pundak dan ramping di pinggang itu dihadirkan pada jas berkancing ganda yang sifatnya lebih formal untuk malam hari. Terbuat dari bahan bergaris-garis, jas berkancing ganda menjadi simbol elegan bagi kebanykaan pria di masa itu, termasuk Al Capone. Ditambah topi fedora, akhirnya  setelan jas bermotif garis di masa itu juga identik sebagai setelan jas mafia.

Sementara jas berkancing satu baris lebih disukai  untuk aktivitas pagi karena lebih ringan dan kasual.

Para penjahit ternama di London kemudian menyempurnakan bentuk jas secara detil, mulai bentuk bahu, kerah sampai bagian dada. Kesempurnaan bentuk jas yang mereka ciptakan menjadikan proses pembuatan jas sebagai  sebuah seni ketrampilan tersendiri, yang disebut tailoring.   Saville Row, sebuah area tempat berkumpulnya para pembuat jas ternama di London menjadi kiblat.

Kesempurnaan jas London dibawa ke Amerika. Di jaman kejayaan studio film Hollywood era 1940an, setelan jas dipopulerkan oleh para aktor seperti Clark Gable, Humprey Bogart,  Carry Grant sampai Fred Astaire lewat penampilan mereka di atas layar perak. Gaya jas mereka yang apik dan sempurna dikenang sebagai penampilan setelan jas paling elegan dalam sejarah jas abad 20.

Era pria gentlemen dan glamor itu berubah di tahun 1950an. Setelan jas yang berpotongan bidang di bagian bahu kembali melunak. Gayanya juga lebih sederhana dengan bahan polos yang lebih mendominasi. Kemajuan jas di era ini ditandai dengan mulai dipakainya bahan berserat sintetis, seperti poliester dan nilon.

Tahun 1960an, ketika dunia sedang dilanda pemikiran masa depan dengan diluncurkannya pesawat luar angkasa ke bulan, setelan jas ikut mengalami wabah futuristik itu. Dipelopori perancang Pierre Cardin, kaum pria masa itu memakai setelan jas berbentuk kaku, geometris dengan celana panjang lurus dan sempit. Warna abu-abu dan metalik yang banyak dipakai saat itu menggambarkan setelan jas yang bernuansa masa depan.

Di tahun 1970an muncul generasi hippy yang banyak melakukan perjalanan ke negeri Timur, terutama India, untuk mencari perdamaian. Itulah bentuk protes mereka terhadap perang Vietnam di era sebelumnya. Gelombang cinta damai itu akhirnya melahirkan gaya pakaian  yang sangat dipengaruhi unsur etnik, bohemia dan Timur.

Setelan jas ikut dalam arus itu. Bentuknya kembali panjang seperti tunik India. Di masa itu juga mulai diciptakan jas di atas bahan bermotif, seperti bunga, paisley dan kotak-kotak  Madras.

Di tahun 1980an, mode pria bukan lagi datang dari London dan Paris. Pria Itali dan perancang Milan mulai memperbaiki bentuk jas dan membuatnya menjadi lebih modern. Perancang Giorgio Armani muncul sebagai mekanik setelan jas di era ini.

Ia menciptakan jas yang lebih rileks untuk kaum pria dengan bentuk longgar dan bahan yang lembut. Gaya jas baru itu ia perkenalkan lewat aktor Richard Gere dalam film American Gigolo

Jas kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang lebih ringan untuk dipakai. Ketika lulusan Harvard Amerika mulai masuk angkatan kerja, mereka membawa kebiasaan berbusana semasa kuliah, yaitu  celana  jins,  yang digabung dengan dunia kerja baru, yaitu jas. Sejak itu setelan jas dan celana jins diterima di mana-mana sampai sakarang.

Pada dekade 1990an orang menuju pergantian abad. Gaya hidup semakin modern dan praktis. Pilihan pakaian semakin ringkas. Setelan jas tidak mengalami perubahan mendasar, tapi masuknya serat Lycra pada setelan jas membuat pakaian pria itu nyaman dan  tidak kusut.

Jas semakin demokatis, dipakaai segala kalangan. Globalisasi membuatnya diterima di segala penjuru dunia. Tapi pada akhirnya setelan jas menemukan sendiri keterbatasannya. Ia kini merupakan bentuk pakaian yang lebih mencitrakan pria professional dan tidak lagi dipakai sepanjang hari.

Akhir

Selama tiga abad setelan jas merupakan busana yang paling mendasar bagi kaum pria di Eropa sampai akhirnya merembas ke belahan dunia mana saja. Sebuah jangka waktu yang tidak sebentar. Kalaupun ia bisa bertahan sampai pergantian abad baru ini, itu karena esensi pakaian pria ini terletak pada  pola yang terus diulang-ulang dan setia pada bentuk tailoring, tapi terus bergerak dan siap menerima perubahan. (MB)

Boks

Jas untuk Merokok

Sejarah mencatat, mode pria banyak diciptakan di Prancis, tapi Inggrislah yang memperbaiki dan membuat aturannya.

Akhir abad 19 muncul kebiasaan baru kaum pria di London untuk bermain biliar dan merokok di ruang khusus sehabis acara jamuan makan malam.     Untuk ke ruang tersebut mereka sengaja memakai setelan jas khusus. Jas itu dipakai supaya melindungi tubuh dari bau asap rokok yang menempel di pakaian dan dikuatirkan akan menggangu penciuman kaum wanita ketika para pria kembali lagi ke ruang duduk untuk melanjutkan malam panjang mereka.

Jas khusus untuk merokok itu disebut dinner jacket di Inggris atau smoking di Prancis. Apa pun sebutannya, setelan itu berupa  jas hitam yang dipakai terbuka di atas kemeja putih, rompi hitam dan dasi kupu-kupu hitam. Kemejanya  memakai lipit-lipit di bagian dada yang disebut plastron. Awalnya kerah kemeja itu bermodel  berdiri tegak dengan bagian ujung menekuk.

Jas ini populer di Eropa tahun 1890an. Di Amerika dikenal dengan sebutan tuxedo. Berasal dari Tuxedo Park Club di mana seorang pria pesolek bernama Griswold Lorillard memamerkan setelan jas “tidak formal” itu tahun  1886. Penampilan pertama setelan jas itu menjadi skandal, tapi di kemudian hari banyak pria menjadi pengikutnya.

Amerika juga kemudian mengganti kemeja berkerah berdiri itu  dengan kerah biasa sampai akhirnya diterima luas sampai sekarang.         

Smoking menjadi simbol gaya modern yang elegan masa itu. Mulanya kelihatan kasual, lama-lama dianggap semi formal. Selama malam musim panas di hotel tepi pantai, pengunjung kasino menyukai gaya pakaian itu. Di French Riviera, dinner jacket itu terkenal dengan sebutan “Monte Carlo” karena dipakai untuk berjudi.

Pria-pria modis membawanya dalam perjalanan liburan mereka untuk dipakai selama makan malam di hotel. Kemudian juga terlihat dalam pesta kalangan terbatas dan di gedung teater. Malah ada masanya tuksedo dipakai untuk baju petang saat minum teh di luar kota.

Di tahun 1920an pengarang dan aktor Noel Coward mengganti rompi dengan ban pinggang lebar terbuat dari satin. Ban pinggang lebar itu disebut cummerband yang  berasal dari bahasa Hindustan kamarband.

Kini smoking,  tuksedo atau dinner jacket menjadi setelan jas paling resmi. Biasanya merupakan dress code untuk acara jamuan makan malam resmi di istana sampai acara formal kalangan pebisnis. Juga menjadi busana pengantin ala Barat dan pakaian wajib para aktor dalam acara penyerahan  piala Oscar.

Dalam perkembangannya sifat formal jas itu  kemudian dilanggar oleh kaum muda. Aktor Brad Pitt, misalnya, datang ke acara penyerahan Oscar dengan tetap memakai setelan jas jas tuksedo dan kemeja putih, tapi tanpa dasi. (MB)