|
|
||||||||||||||
|
Edisi Mei 2004 | ||||||||||||||
Bahan Perempuan Yang Sangat Perempuan |
|||||||||||||||
|
“Maybe the naked truth is glorious, but I like a bit of chiffon here and there,” kata Ernie Janis dalam What Should I Wear.
60an : Waktu kecil, ABG saja belum, saya sering melihat Ibu melilit lehernya dengan sepotong kain kalau akan ke luar rumah.Saya tidak tahu nama kain itu. Baru kemudian mengenalnya sebagai scarf. Saya hanya perhatikan scarf itu terbuat dari bahan bagus. Tipis, halus, enak dipegang. Beda dengan baju katun dan celana dril yang saya pakai setiap hari ke sekolah. Entah di tahun kapan, saya ‘ngeh’ kalau bahan tipis itu namanya chiffon, yang diindonesiakan menjadi ‘sifon’. Pada waktu mulai takjub pada ensiklopedi, yang saya anggap ‘buku yang tau segala’, saya cari artinya. Giorgiana O’Hara, pembuat The Encyclopedia of Fashion, memberi deskripsi begini. Chiffon : bahan ringan, halus, tipis, tembus pandang, yang diciptakan dari benang melintir yang rapat sekali. Bisa terbuat dari serat sutra, wol atau sintetis. Khususnya dipakai untuk gaun malam. Scarf sifon populer di tahun 1950 dan 1960an. Kata chiffon berasal dari bahasa Prancis. Artinya potongan kain linen atau kain lusuh yang biasa dipakai untuk lap. John M Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris – Indonesia mendefinisikan sifon sebagai ‘semacam kain sutra yang tipis sekali’. Columbia Encyclopedia menambahkan, sifon itu sulit diolah, tapi jatuhnya enak dan nyaman di badan. Meski ringan, tahan lama. Hanya sobek kalau tersangkut. Gampang bolong kalau tersundut rokok. Tapi coba tarik, sangat kuat. Malah bisa masuk museum rekor karena sanggup menarik gajah tanpa putus. 70an : Begitu mulai tertarik pada mode, umur sudah pasca brondong, lagi tergila-gila rambut gondrong, saya coba-coba beli buku mode. Saya begitu terkesan dengan sebuah foto pada 100 Years of British Vogue. Marissa Berenson, aktris 70an, sedang pose memakai gaun rancangan Yves Saint Laurent. Baju itu terbuat dari bahan sifon yang tipis, tembus pandang. Saya kagum, terbingung-bingung, heran, tidak habis pikir. Bukan karena saya bisa melihat dengan jelas tubuh aktris yang tidak pakai bra itu di balik bahan see through-nya. Saya dapat sebuah pengalaman baru. Saya belajar dari dunia yang paling cepat berubah dan penemu hal-hal tak terduga itu. Mode ternyata sanggup memutarbalikkan pandangan orang. Bayangkan saja. Busana yang awalnya diciptakan untuk menutupi tubuh, sekarang malah dirancang untuk ‘menelanjangi” pemakainya lewat bahan sifon. Benar-benar kontroversial ! Ada rasa seksi saat perempuan memakai baju sifon. “Sifon itu seperti ilusionis yang membuat pemakai seolah nudis, padahal masih tertutup busana,” kata Kim Johnson Gross. Sejarah mode tidak mencatat siapa pionir sifon. Paling tidak pelukis Boticceli, tahun 1482, melukis wanita dengan gaun tipis. Tapi banyak ahli menduga sifon sudah dipakai Salome untuk mengintrik laki-laki Sebelum Masehi. Sampai akhir 50an, sifon lebih banyak dirancang untuk gaun-gaun istimewa para raja, bangsawan, wanita kelas atas atau aktris Holywwod. Baru tahun 1968, Yves Saint Laurent pertama kali membuat busana siap pakai dari sifon untuk baju sehari-hari kaum perempuan. 80an : Jaman Madonna baru muncul saya bertemu lagi dengan sifon. Waktu itu saya sudah masuk dunia mode, jadi redaktur mode. Mode Indonesia baru tumbuh. Banyak perancang memanfaatkan kain tradisional dan tekstil dalam negeri. Tiba-tiba datang Biyan, pulang dari belajar mode di Jerman. Di tengah gaya etnik dan gaun klasik, dia bawa gaya kontemporer dengan bahan sifon. Sifon dilipit-lipit, pleats, jadi gaun sampai celana panjang dengan gaya diskonstruktif ala perancang Jepang. Sifon jadi fenomena baru di tanah air. 90an : Sifon itu susah digunting dan dijahit karena bahannya tipis sekali dan gampang tergelincir. Bekas lubang jarumnya selalu kelihatan. Untuk dijahit lurus saja bisa miring-miring. Dipotong lurus juga susah setengah mati. Jadi bayangkan bagaimana hebatnya John Galliano waktu tahun 90an memperkenalkan gaun sifon justru dengan bias cut, potongan serong. Gaun tali bahu sifon itu ditiru di mana-mana dan jadi mode sampai sekarang. Milenium 3 : Sifon benar-benar tidak ada matinya. Di milenium baru jadi mode lagi. Sekali ini saya terkesan melihat koleksi perancang Eddy Betty dalam peragaan tunggalnya 2001. Bahan sifon yang halus, indah itu malah digunting jadi perca. Ujung gaun sifonnya sengaja tidak dijahit. Benangnya dibiarkan menjuntai-juntai. Unfinished, istilahnya. Sifon muncul dengan bentuk baru lagi. Dalam kesempatan lain, saya menonton peragaan seorang perancang muda. Gaunnnya menarik. Sifon dipotong jadi lembaran panjang dan dijalin seperti ketupat. Sayang jatuhnya tidak bagus. Seorang perancang senior bilang pada saya. Itu karena dia pakai sifon murah. Dan kalau mau pakai efek kerlip, jangan taruh manik di atas sifon. Berat, jadi jatuhnya tidak bagus. Pakai kristal harusnya. Dari situ saya belajar. Sifon itu disukai karena indah, tapi untuk mengendalikannya tidak segampang membalik telapak tangan. Sifon bagus biasanya buatan Eropa. Untuk menandai kebagusannya, lihat saja efek motif fatamorgana yang berbentuk serat kayu saat kain itu dibentang. Karena halus, paling aman bawa saja ke laundry untuk mencucinya. Tahun 2004 sifon jadi mode lagi. “80% persen orang mode saat ini pakai sifon,” kata Sebastian Gunawan. Akhirnya saya pikir sifon itu seperti legenda tekstil. Jadi pembicaran terus sepanjang masa. Bisa jadi banyak perempuan suka sifon karena sifat bahan itu sangat perempuan. Kelihatan halus, ringkih, tapi kuat. “Baju sifon kesannya lebih pure. Sifat bahannya melambai, seperti peri, dongeng,” kata Sebastian lagi. Juga seperti bunglon, bisa kelihatan seksi atau polos. Atau malah sekaligus gabungan keduanya, tambah saya. Untungnya sifon hanya populer buat perempuan. Biar pun suatu saat saya masuk Selebriti Fitness Center, yang lagi ramai seperti pasar malam itu, dan saya berhasil membuat otot dada saya jadi ‘ngok’ seperti Ade Rai, tetap saja tidak terbayang saya akan memakai kemeja sifon. Bukannya risi memamerkan badan. Cuma takut jangan-jangan nanti masuk angin. (MB) |